Istilah algoritma sangat akrab dikalangan para programmer dan matematikawan. Sebuah cara berpikir sistematis yang sangat kompleks untuk membuat sebuah program atau aplikasi adalah bahasa lain yang sederhana dari istilah algoritma. Semakin gampang aplikasi dipakai para pengguna untuk sebuah sistem yang besar, berartis semakin rumit algoritma yang digunakan untuk membangun aplikasi tersebut.

Maka aku berpikir alangkah luar biasanya algoritma Allah atas sebuah penciptaan ini. Setiap yang sadar dan mau berpikir jernih tentang setiap hal yang terjadi di kehidupan ini, maka nyatalah bahwa ia bukanlah hasil sebuah kebetulan. Takdir, itulah bahasa yang tepat untuk mewakili konsep algoritma versi sang Pencipta dalam mengatur kehidupan ini. Bagaimana bentuknya, maka tak seorang pun kuasa untuk mencerna apa yang menjadi maksud-Nya.

Namun, ternyata hari ini di tataran kehidupan manusia di bumi pun sepertinya menghadapi sebuah algoritma yang sangat rumit. Entah kenapa aku semakin yakin bagaimana kacaunya negeri ini tidak terlepas dari algoritma orang yang cerdas yang dimainkan di negeri ini untuk mengambil keuntungan yang besar dari sebuah potensi yang terkubur dari Zamrud Katulistiwa ini. Indonesia hari ini bisa dikatakan semakin rusak oleh sebagian pemikir bangsa, bahkan para koruptor yang sedang asyik mengkorup uang rakyat. Namun apa daya, ada yang salah dibalik pengakuan itu. Pengakuan yang sekedar pengakuan, tapi tetap saja berselimut keengganan untuk keluar dari status Quo.

Menilik sejarah bangsa ini, kita adalah bangsa yang besar dengan keemasan yang gemilang dari masa ke masa, baik masa Hindu-Budha maupun Kesultanan Islam di nusantara. Tapi sebuah pembalikan sejarah tak terperikan dibalik kisah kedatangan VOC dan Belanda di negeri ini. Salah satunya kehadiran Snouck Hugronje yang sangat piawai melakukan rekayasa sosial mengakibatkan bangsa ini terus melemah setelah semakin hari kehilangan para pemimpin perjuangan mereka.

Aku terhenyak dengan penjelasan salah satu mentorku tentang skema penjajahan cara berpikir bangsa kita yang membuat kemajuan bangsa ini dibentur-benturkan dengan cara berpikir klasik. Misalnya dibalik melemahnya perlawanan kesultanan-kesultanan Islam, khususnya di tanah Jawa adalah sebuah tradisi pemikiran budaya yang aneh dan rusak.

Misalnya adalah penggunaan kata kyai. Dari kata asalnya, Kyai itu melambangkan sosok guru yang sangat disegani dan dihormati. Tempat belajar dan menimba banyak kebajikan tentang hidup. Tapi dengan sebuah konstruksi budaya, akhirnya nama-nama Kyai ini kemudian disematkan pada benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, gamelan, kereta. Parahnya lagi bahkan ada yang disematkan pada Kerbau (tidak perlu saya sebutkan di mana tempatnya). Jika benda-benda seperti ini disebut Kyai, lantas Gustinya siapa?

Aku rasa analisis sederhana ini ada benarnya, karena kultur masyarakat Jawa yang sangat percaya pada pemimpinnya akan dengan mudah dijebak dalam ruang pemikiran yang mengerikan untuk mendewakan para raja mereka. Perspektif mereka dalam melihat raja sebagai pemimpin berubah seketika menjadi sanjungan berlebih layaknya tuhan. Makanya istilah Gusti dan Sinuhun itu sebenarnya gelar yang menurutku berlebihan untuk disematkan bagi seorang raja, tapi saat ini gelar ini sangat lazim di pakai di kalangan keturuna raja-raja mataram.

Masyarakat pun hilang daya kritis mereka. Bukan berarti kritis itu untuk tujuan melakukan pemberontakan dan demo terhadap raja, tapi hilangnya daya kritis ini berimbas pada daya belajar yang hilang. Nalar yang tidak diasah mengakibatkan kebodohan yang turun temurun karena dipenuhi dengan dogma dan tradisi kepercayaan Jawa yang tidak berdasar. Karakter kepemimpinan Jawa yang sebenarnya sangat khas dan populer ternoda dengan sebuah dogma aneh yang cenderung menyesatkan masyarakat untuk berpikir integral dan berkembang.

Titik penyesatan kata Kyai ini saja, dampaknya sangat besar dalam memecah belah kalangan Keraton dengan masyarakat santri kauman. Kalau dilirik dari sejarahnya, sultan-sultan pada masa awal kerajaan Islam, gelar-gelar mereka sangat indah dan tidak berlebihan. Misal Iskandar Muda, Iskandar Thani, Raden Patah, Sultan Trenggono, bahkan di awal-awal kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung Hanyokrokusuma, semua itu nama-nama yang relatif indah dan aman dari sisi pengagungan untuk para raja. Tapi sejak VOC mulai mencampuri urusan-urusan kekuasaan Islam, maka berbagai hal yang aneh akhirnya bermunculan. Mungkin juga ini adalah sebuah skema devide et Impera dalam sudut intelektualitasnya.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.