Terkadang seseorang itu terlalu menikmati zona nyamannya. Dan itulah keadaan kebanyakan orang hari ini. Ketika mereka dihadapkan pada sebuah pilihann nyata yang harus segera mereka putuskan mereka lebih memilih menunda-nunda dan berpikir bahwa itu hanyalah sebuah permainan biasa.
Adalah hal yang wajar ketika seseorang awalnya mau terlibat pada sebuah kegiatan. Formalnya, kalau di ruang aktualisasi hari ini mereka punya alasan untuk belajar, cari pengalaman, dan segudang alasan formal yang lain. Tapi di kemudian hari alasan-alasan formal itu akan segera menemui pembuktiannya ketika mereka dituntut “sedikit lebih meningkat“ setelah banyak waktu sebelumnya mereka menikmati stagnasi yang cukup panjang.
Zona nyaman, membuat pikiran pun tak responsive untuk memandang sesuatu hal. Ingin dimanjakan dan melakukan apa yang “kita” inginkan seringkali menjadi pembenaran atas berbagai hal yang ada di sekitar kita. Meski tidak jarang juga orang yang keluar dari zona nyaman sebenarnya juga ingin menikmati apa yang sesungguhnya “dia” inginkan. Tapi yang jelas, setiap hal yang nyaman pada zonanya harus dibayar mahal dengan paradigma yang kaku dan mungkin sulit untuk diatur lagi.
Tugas pemimpin adalah menemukan titik-titik kenyamanan orang-orang yang dipimpinnya, kemudian mengusiknya dengan bahasa dan cara yang paling tepat untuk mengembalikan mereka agar tetap bergerak dan selalu berada dalam jalan inovasi. Meskipun sulit hal itu mutlak untuk dilakukan jika ingin roda kehidupan ini berjalan dengan wajar untuk menemui takdirnya. Mungkin kemudian ada yang tercecer di tengah jalan ketika ia merasa terusik dengan hal-hal baru yang ditawarkan. Yang pasti dalam mengusik zona nyaman mereka, diperlukan jembatan-jembatan penghubung yang tepat.
Jembatan itu bernama komunikasi yang sehat. Hari ini tradisi Jawa di tempatku dan edisi kepakewuhan menjadi pemanis yang paling menjengkelkan sekaligus paling membelajarkan kesabaran. Ada baiknya sih orang itu pekewuh, karena dia tidak akan blak-blakan dan berkata seenaknya. Tapi terkadang pekewuh yang tidak pada tempatnya akan menumbuhkan benih-benih kemunafikan pada diri seseorang. Terutama memutuskan antara ya dan tidak. Karena dia mau bilang tidak pekewuh, sehingga paling aman berkata ya, asal partnernya senang.
Aku sadar, tidak setiap komunikasi berhasil aku bangun secara personal dengan orang-orang yang menjadi tanggung jawabku. Tapi aku sendiri tidak akan membiarkan mereka menjadi golongan orang-orang GJ alias ngambang. Mereka harus berani memutuskan jika mereka telah memahami banyak hal yang disampaikan. Karena keraguan mereka akan menjadi masalah buat dirinya sendiri di kemudian hari. Ketika mereka dulu santai ditawari A, B, C dan kurang menganggapnya sebagai prioritas (dalam kacamataku, tidak bertanya lebih lanjut, tidak menunjukkan antusiasme dll adalah hal yang bukan dianggap prioritas), maka hari ini perlu ditegaskan.
Karena jalan perjuangan ini adalah tentang janji dan pilihan. Jadi kita harus memaksa diri kita untuk memilih. Jika merasa belum mampu memilih ya bertanya sebanyak-banyaknya agar kita memiliki pandangan yang mumpuni. Terkadang ada yang menjatuhkan pilihan dengan alasan solidaritas. Aku tertawa, “nek kancamu njegur sumur, po yo rep mbok tututi?” (kalau temanmu hendak menceburkan diri ke sumur, apa kamu juga mau ikut?).
Solidaritas itu untuk menyambut kebaikan, bukan untuk saling mempengaruhi jadi atau tidaknya memutuskan kebaikan. Karena jika sampai ada seseorang di antara kita ragu-ragu gara-gara perkataan kita dan kehilangan kebaikannya, boleh jadi kita pun telah berinvestasi keburukan untuknya. Ngeri deh kalo hal ini sampai luput dari muhasabah kita.
Semoga kita selalu bisa menghubungkan setiap hal yang menjadi urusan kita dan menjelaskan apa-apa yang menjadi tanggung jawab kita. Boleh jadi orang-orang itu tidak mengerti karena cara berkomunikasi kita yang tidak baik. Salahkan diri, sebelum tunjuk orang lain.