Kepyoh
Hari ini adalah kali pertama bagi kami menjadi senior untuk adik-adik kami dalam seleksi beasiswa aktivis nusantara yang diadakan oleh Beastudi Indonesia Dompet Dhuafa. Setelah malamnya wayangan di masjid kampus untuk nge-reyen masjid baru yang megah dengan hotspotnya yang sangat kenceng, pagi ini aku harus siap-siap untuk memasang berbagai atribut seleksi dan menata tempat. Karena pagi ini yang konfirmasi bisa datang pagi hanya aku dan seorang teman cowok, jadilah kami pasukan perintis bersama fasilitator kami.
Ketika aku sampai di lokasi, ternyata pihak Beastudi juga sudah datang. Waduh, berat nih, malu sama mas Edi dan mas Romi dong. Tak mengapa lah, setelah disambut, mereka kami persilahkan duduk di ruangan khusus sampai persiapan kami selesai. Alhamdulillah akhirnya persiapan berjalan dengan baik dan tepat jam 8.00 acara dimulai dengan ditandai hadirnya kepala biro administrasi kemahasiswaan. Alhamdulillah beliau bersedia hadir untuk memberikan sambutan dan beramah tamah dengan pihak DD.
Acara cukup meriah, karena dihadiri hampir semua peserta yang lolos final di seleksi tahap kedua. Mereka rela datang meskipun pada akhirnya. Celakanya aku dengan PD-nya memakai sendal jepit. Dan sudah dapat dipastikan mas Romi menegurku. Memang salah, mau dikata apa. Segera meluncur pulang, dan mengganti alas kaki dengan sepatu.
Seleksi itu Ekspresi Kejujuran
Setelah pembukaan selesai, acara langsung dilanjutkan dengan FGD yang diarahkan langsung oleh mas Romi dan mas Krisna, fasilitator kami. Separuh peserta yang datang kemudian pulang, karena jadwal seleksi mereka adalah esok hari. Kurang lebih hampir 1,5 jam berlangsung. Para peserta beradu argumentasi untuk menanggapi sebuah persoalan yang digelontorkan. Aku tidak mengikuti, karena jobku seperti biasa, menjadi pembantu umum membuatku harus mobilisasi di luar.
Usai FGD, semua peserta menunggu untuk dipanggil satu-satu memasuki ruangan tadi dan di“interogasi“ tentang esai dan visi hidupnya. Aku masih ingat bagaimana tahun lalu aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serius dari dua orang penyeleksi dan satu fasilitator tentang esai yang kutulis dan visi hidup yang kubuat. Aku mendapatkan sebuah masukan baru dalam hidupku ketika mempresentasikan visi hidup itu. Hingga akhirnya aku berpikir, bahwa mekanisme seleksi beasiswa semacam ini penting sebenarnya untuk dilakukan di universitas karena akan mampu memberikan warna baru.
Dalam keberjalanan seleksi itu aku dikejutkan dengan suatu hal yang menurutku tidak pantas dilakukan oleh calon penerima beasiswa aktivis. Konfirmasi yang ditujukan kepadaku membuatku harus melakukan klarifikasi yang benar atas permasalahan yang sebenarnya. Singkat cerita, aku kecewa dengan apa yang telah terjadi. Sebuah ketidakjujuran yang menurutku lebih disebabkan oleh sebuah ambisi. Aku begitu ngeri jika flashback dengan kenyataan yang pernah terjadi atas fenomena yang terjadi hari ini. Sangkaku yang cukup lama sering mengusik ketenangan batinku terjawab sudah hari ini. Oke dah, good bye. Allah maha membuka.
Sahabat, seringkali kita berpikir untuk menunjukkan yang baik-baik di hadapan orang, padahal kenyataannya kita tak sebaik apa yang kita tunjukkan. Buat apa sih? Bukankah itu sesuatu yang lebih dekat pada kemunafikan. Ketika Allah membuka itu semua, jelaslah semua dan pasti itu lebih membuat ktia merugi. Aku pun merinding mengingat hal itu. Allah maha baik, karena Dia masih menjaga aib kita dan memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan mengganti kesalahan atau aib itu dengan hal lain yang lebih mulia.
Aku sadar bahwa saat ini Allah masih memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki kesalahanku. Sebelum tabir itu dibuka, maka aku harus berhasil membuat bukti perubahan. Seperti spirit yang kuangkat dalam setiap perjuanganku. Yah, perubahan yang sebenarnya atas diriku sendiri jauh lebih utama sebelum memberikan efek perubahan pada sekitarnya. Allah tolonglah hamba agar bisa berubah menjadi lebih baik. Dan anugerahkan nikmat terbesar-Mu, nikmat bisa bersyukur atas apa yang akan Kau berikan kemarin, hari ini dan nanti.