Bangsa Kanak-Kanak

Di antara konsekuensi bangsa yang semakin tua adalah terwujudnya sebuah bangsa yang dewasa. Aku belajar banyak dari perjalanan selama sebulan di Jerman. Mereka adalah orang yang sangat bangga dengan karya bangsa sendiri. Meskipun pemerintah tidak membatasi berbagai impor, tetapi mereka memilih BMW sebagai mobil kesayangan mereka. Jangan ditanya masalah kereta api dan pesawat terbangnya, jelas buatan sendiri. Apa lagi? Yah mereka begitu menghargai itu semua sebagai warisan terbaik putra-putra bangsa mereka. Maka tidak mengherankan jika sekarang Jerman menjadi satu-satunya negara yang paling kuat ekonominya di Eropa.

Dalam hal sejarah, mereka telah mengubur rapat-rapat catatan buruk sejarah mereka. Meninggalnya Kaisar Barbarosa ketika tercebur dan tenggelam di Sungai Rhein sebelum sampai ke medan perang, kisah NAZI berkuasa dengan Hitlernya semua telah dikubur dalam-dalam dari ingatan mereka hingga pada generasi mereka. Mereka tahu bahwa sejarah-sejarah kelam itu akan meracuni generasi bangsa Jerman dan selayaknya dikubur dalam-dalam. Masih banyak cerita kejayaan yang bisa mereka ungkapkan di dalam kelas, sebagai pengantar tidur dan sebagai bahan film yang selalu ditonton anak-anak. Bangsa ini telah dewasa untuk terus bangkit membangun dan hidup dalam kesejahteraan.

Bagaimana dengan bangsa kita? Membaca tulisan dari Uda Yusuf tentang Demokrasi Tanpa Gagasan akan membuat kita geleng-geleng kepala. Dalam tulisan yang singkat dan renyah itu, Uda membagi fase demokrasi di negeri kita mulai dari demokrasi totaliter, demokrasi transaksional, demokrasi pencitraan, dan seharusnya kita berusaha untuk mencapai demokrasi tranformasi gagasan. Demokrasi totaliter telah terjadi di mana siapa yang berkuasa dapat mengatur dengan segala kekuatannya, kemudian ketika beberapa faksi semakin menguat maka sistemnya menjadi transaksional, dan ketika media telah menjamur maka kenarsisan telah mewarnai demokrasi kita. Semua harus dibayar mahal karena memang semua membutuhkan biaya besar untuk setiap fase demokrasi itu dengan harapan kelak tercipta demokrasi tranformasi gagasan yaitu suatu kondisi ideal di mana masyarakat mengerti visi dan misi pemimpinnya dan pemimpinnya memerintah dengan transparansi dan tanggung jawab.

Jika negeri kita tetap stagnan dalam demokrasi pencitraan, apalagi juga masih berkelindan dengan demokrasi transaksional terlalu lama, maka cita-cita menuju demokrasi tranformasi gagasan seperti angan yang mustahil. Bagaimana tidak? Kebodohan akan berubah menjadi pembodohan. Kesenjangan sosial akan berubah menjadi pensenjangan sosial. Kemiskinan akan berubah menjadi pemiskinan. Dan masih banyak lagi ke-an menjadi pe-an yang lain. Dan ini konsekuensinya adalah sistematika baru dalam babak penjajahan negeri ini. Memangnya negeri kita telah merdeka? Kata siapa? Bung Karno pun ketika telah menjabat sebagai presiden tetap berteriak merdeka bahkan setelah proklamasi kemerdekaan. Jadi kata merdeka itu sebenarnya adalah seruan bagi tiap diri untuk melakukan pembebasan dan memerdekakan dirinya dari penjara kebodohan diri. Untuk tunduk mengabdi kepada Yang Maha Perkasa, yang pantas mendapatkan pengabdian dari hamba-Nya.

Melihat berbagai pertikaian para elit negeri ini yang kemudian juga diikuti oleh para mahasiswa yang ikut-ikutan berfaksi dalam berbagai pergerakan mahasiswa sekarang semakin menjauhkan mereka dari visi besar bangsa Indonesia seperti yang telah tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Saling singkir menyingkirkan dalam masalah kekuasaan mudah saja dilakukan tanpa sebuah komunikasi yang elegan. Sikap apakah semacam ini? Bahkan anak-anak yang hobi bertengkar pun segera baikan ketika air mata mereka telah kering. Ini sikap yang jauh dari kedewasaan, dan jauh lebih kanak-kanak dari anak-anak yang masih sekolah di taman kanak-kanak. Maka bangsa ini harus membayar mahal dengan persepsi buruk masyarakat, politik dipersepsikan menjadi sesuatu yang kotor dan mengerikan. Masyarakat selalu resah dan tidak fokus lagi untuk bekerja keras membangun bangsa ini. Semua perhatian tertuju pada masalah kekisruhan kepemimpinan yang seolah tidak ada ujung penyelesaiannya.

Bagi yang merasa mahasiswa, sikap apakah yang telah kita ambil sejauh ini? Apakah kita ternyata menjadi generasi bangsa yang mengalami degradasi sikap menuju anak-anak PAUD atau bahkan yang lebih kecil dari itu. Ayolah, ada banyak pilihan hidup ini. Mau kuliah melulu, kemudian kerja, ga peduli di perusahaan asing atau di mana pun asal gajinya tinggi. Atau menceburkan dalam sebuah ruang gerakan tanpa sebuah bangunan karakter yang jelas sehingga terjebak dalam fanatisme buta tanpa sebuah visi besar untuk bangsa dan kemaslahatan umat ini. Masa muda ini penuh banyak pilihan, tetapi pasti hanya akan ada satu pilihan yang terbaik. Dan pilihan itu ada di hati masing-masing kita sebagai mahkota yang akan kita genggam sampai mati dan persembahkan di hadapan Allah ketika hari pertanggungjawaban nanti.

Kita adalah bangsa yang telah lama, bukan lagi balita atau kanak-kanak. Mari sudahi kebiasaan saling membunuh saudara sendiri. Penjajah Indonesia itu bukan Belanda atau Jepang, tetapi para pengkhianat bangsa, darah daging kita sendiri, kulitnya sama dengan kita, bahasanya sama, dan bahkan terkadang lebih ramah dari kita. Atau mungkin kita ini salah satu bibit selanjutnya. Naudzubillah mindzalik.

Yang hari ini menikmati fasilitas negara dengan belajar di sekolah dan kampus negeri, mari kita renungkan apa yang bisa kita berikan untuk negeri ini (khususnya rakyat) karena jerih payah merekalah yang telah membiayai kita. Yang hari ini telah menikmati beasiswa dari pemerintah, balas budi apa yang telah kita persembahkan untuk negeri ini. Yang hari ini menjadi pegawai negeri, sudahkah kita menjadi pelayan sejati untuk negeri ini? Melayani rakyat dengan sepenuh hati sesuai janji yang telah diucapkan dalam pelantikan. Jika belum ada, maka pantas dicatat bahwa kitalah benih-benih baru penjajah negeri ini yang nanti akan mudah sekali bergandeng tangan dengan para perampok negeri ini. Yang suka dengan fasilitas mewah tapi tak peduli siapa yang memberi. Yang masih bisa membedakan dan merasakan adanya tanggungjawab di balik segala fasilitas yang kita rasakan ini, maka semoga Allah senantiasa menjaga kita untuk tetap menapak di jalan indah ini, dalam idealisme yang realistis dengan “furqon” yang senantiasa terjaga.

bersambung ….

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.