Dan tahulah dia bahwa ternyata si pemiliki amplop pink itu memang bukan orang sembarangan. Seorang yang berasal dari salah satu ma’had terbaik di kota itu. Yang katanya merupakan tempatnya para akhwat idaman para ikhwan di kampus itu. (Dalam hati mungkin aku juga berharap kelak mendapatkan jalan yang serupa, setidaknya sarana dan resources-nya pun menunjukkan adanya kredibilitas yang tinggi). Bisa dibilang ini keberuntungan pertama beliau.

Saat taaruf dan nadzhar (melihat calon istri) pun dilakukan, mengingat kedua orang ini ternyata hanya cuma pernah saling kenal di beberapa agenda kampus. Beliau yang memang cenderung cuek dari membicarakan gadis-gadis di balik tirai warna-warni itu tentu tidak terlalu peduli dan mungkin telah lupa bahwa dulu pernah jadi satu panitia atau satu amanah. Intinya beliau tetap saja “slengekan“ menjelang taaruf itu. Dan benarlah, sang akhwat beserta murabbiyahnya, dan tentu saja sang ustadz dibuat menunggu setengah jam dari janji yang disepakati gara-gara masnya ini memilih mengantarkan temannya dahulu yang akan pergi. Teman kos lebih utama untuk diantar, barulah ke taaruf. Kata ustadznya, “Lo niat mau nikah ga sih?“. Jawabnya, “Ya niat, kan udah milih proposalnya.“ Tawa kami yang mendengarkan cerita ini pun meledak habis-habisan. Inilah kekonyolan berikutnya. Taaruf pun berlangsung singkat, karena memang tidak ada investigasi ala wartawan. Pulang sudah mereka.

Beberapa waktu kemudian, telpon berdering di ponselnya, “Dek, ini saya murabbiyahnya ….. Tolong nanti malam datang ke ma’had ya, ada uminya calonmu yang mau ngobrol“. Dengan santai dijawab, “Agak malam dikit ya Umi, mau berbagi inspirasi dulu ke jamaah. Mau nunggu kan?“. Aku tak habis pikir, ini keren sekali. Bahkan di masa sepenting ini, bagi beliau tetap santai dan “slengekan“. Pertemuan pun terjadi. Dari obrolan yang ngalor ngidul itu, ada fragmen percakapan yang membuat kami tertawa lagi ngakak-ngakak. Kata beliau kepada calon ibu mertua, “Bu, besok saya datang langsung lamaran ya Bu, biar segara bisa nikah. Ga usah pake silaturahim berkali-kali. Kalo boleh, saya seriusi, kalo ga saya cari yang lain deh ya”. Haduh parah banget lucunya, aku sempat bertanya, beneran tidak ini. Beliau dengan tatapan tajam mengatakan bahwa ini nyata, dia lakukan sendiri. Barangkali inilah yang mengagumkan dari sosok beliau yang sangat yakin dengan karunia Allah, jadilah proses khitbah (lamaran) berjalan lancar hingga penentuan pernikahannya.

Tenang ya, cerita belum usai. Kisah konyol masih akan berlanjut. Begitu menjelang hari-hari pernikahan beliau ternyata sempat lupa tanggalnya. Sang calon istri pun menelpon karena tak kunjung ada kabar soal berapa rombongan yang akan datang.

Calis (calon istri), “Akh, jadinya berapa orang yang akan datang? Kan tinggal sebentar lagi“.

Calmi (calon suami), “Lho, bukane masih pekan depan ya Ukh? Sabar ya, saya belum mengurusnya”.

Calis, “Akh, gimana sih, kan waktunya tinggal  5 hari lagi. Coba tengok di undangannya”. Gubrakkkkk

Calmi, “Oh iya bener, maaf ya. Oke deh. …………..( pembicaraan seputar persiapan teknis)”.

Kami semakin tergelak-gelak, kok lucu banget sih. Lagi-lagi aku tanya, beneran mas? Betul lah ya.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.