Mengawali sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini, aku sempatkan untuk pulang ke rumah. Di rumah lebih menenangkanku dan lebih memudahkanku untuk bermuhasabah. Kebetulan juga tidak ada amanah penting di kampus, selain hanya undangan buber yang begitu ramai di sana sini. Biar saja lah, semoga ada kesempatan lain untuk makan bareng. Usai shalat tarawih, kudengarkan siaran kajian Radio Dakwah dan Syariah (101,4 FM).

Wuih, ada kajian menarik tentang hadits-hadits kesabaran dalam berdakwah. Karena tadi aku tidak mengikuti dari awal, jadinya tidak tahu kitab apa yang digunakan dan siapa ustadz yang mengisi. Hanya sepertinya aku familiar dengan ustadz ini yang begitu faqih dan open mind dalam menyampaikan, yaitu ustadz Eman Badrutaman, Lc. Whatever-lah, yang penting isinya bagus. Nah, kurang lebih seperti ini nih yang aku dapat.

Kesabaran dalam Dakwah : Asas Perbaikan Umat

Begitu radio kuhidupkan, langsung masuk pada hadits yang disyarah oleh Syaikh Utsaimin. Diceritakan ada dialog antara Khalifah Ali rodhiyallohu ‘anhu dengan seseorang yang menjadi khawarij gara-gara fitnah yang luar biasa hebat di masa-masa akhir kekhalifahan Utsman rodhiyallohu ‘anhu. Orang tersebut memprotes kepemimpinan khalifah.

Pasalnya orang khawarij itu menganggap pemerintahan Ali dianggap tidak mau menumpas kelompok Muawiyah yang mereka anggap sebagai pemberontak dan justru khalifah dianggap berhukum dengan manusia saat gencatan senjata di Perang Siffin. Jadi di mata khawarij, baik Ali maupun Muawiyah semua buruk dan sama saja. Betapa buruknya mereka, menganggap buruk bahkan mengkafirkan 2 sahabat Rasulullah yang mulia, yang satu adalah Bahrul Ulum (lautan ilmu) dan yang lain adalah Khoirul Malik (Sebaik-baik Raja setelah Khalifah Rasyidah) yang keduanya juga sama-sama penulis wahyu di masa Rasulullah.

Akhirnya terjadi percakapan yang kurang lebih begini

Khawarij : “Hai khalifah, pemerintahan Anda tak sebaik pemerintahan Abu Bakar”

Ali : “Tahukah kamu, ketika khalifahnya Abu Bakar, rakyatnya adalah kami. Sedangkan ketika aku sekarang menjadi khalifahnya, rakyatnya macam kalian ini.”

Ini adalah jawaban yang sangat bagus dan diplomatis. Pukulan telak untuk membungkam mulut-mulut lancing orang khawarij.

Intinya, kisah tersebut memberikan ibrah bahwa dalam sebuah masyarakat atau bangsa maka keberadaan pemimpin dan rakyat adalah suatu perpaduan yang akan menentukan kualitas masyarakat itu sendiri. Jika di masa Abu Bakar, atau bahkan Rasulullah masyarakat begitu damai dan dipenuhi keadilan karena pemimpinnya sangat adil dan rakyatnya sangat taat kepada pemimpinnya. Hal ini kemudian berbeda keadannya ketika zaman fitnah terjadi, di mana pemimpinnya sebenarnya adalah orang yang adil (yaitu sahabat utama Rasulullah) tetapi rakyatnya adalah pemberontak yang lebih suka membuat kekacauan. Jadinya tatanan masyarakat pun menjadi kacau. Maka jawaban khalifah Ali itu sebenarnya akan membuat orang tersebut bersimpuh dan menyadari kesalahannya. Tapi, dasar khawarij, masih saja mencari pembenaran pribadi.

Jika itu direfleksikan kepada negeri kita saat ini. Hemm, luar biasa kacaunya. Karena jika diakumulasi, baik pemimpin maupun rakyatnya kondisinya sama-sama rusak. Jangankan berbicara penegakan syariat Islam, berbicara masalah kebaikan Islam saja sudah buru-buru menyumbat telinga, padahal mayoritas adalah kaum muslimin itu sendiri. Berapa orang baik yang mendapat kedudukan di parlemen, eksekutif, peradilan dan posisi-posisi strategis lainnya? Masih sangat sedikit, padahal banyak penjahat dan perusak yang sudah bercokol, tidak hanya secara individu tetapi sudah menjadi klan kejahatan yang siap menjarah dan merusak negeri. Tetapi, yakinlah bahwa Harapan itu Masih Ada.

Lalu bagaimana solusinya? Jika dikembalikan ke pemahaman yang benar, maka perbaikan itu berawal dari pemimpinnya. Tetapi bukan berarti rakyat tidak memiliki tanggung jawab untuk menjadi baik. Semua harus beriringan. Apakah masuk akal jika tiba-tiba ada orang shalih tiba-tiba menjadi presiden di tengah masyarakat yang begitu cinta dan berbudaya korupsi, mulai dari waktu, kepercayaan hingga uang yang jumlahnya tak terperi? Maka baik penguasa maupun rakyat semua harus berubah menjadi lebih baik jika ingin masyarakat ini menjadi baik kembali. Pemimpin menjadi teladan dalam kebaikan dan menjadi pejuang keadilan. Rakyat menjadi teladan dalam ketaatan. Alangkah indahnya.

Nah, di sinilah kemudian kesabaran berdakwah itu diperlukan. Bagaimana mengubah masyarakat yang sudah mengalami masalah super ruwet in? Pertama, perbaiki diri (islahun-nafs) dan kemudian mengajak orang-orang terdekat kita untuk mengenal dan mencintai Islam. Maka kemudian ta’lim dan tarbiyah Islamiyah itu menjadi asas perubahan masyarakat. Berbicara tarbiyah Islam itu bukan bicara target bahwa tahun sekian harus begini dan begitu, tetapi berbicara bagaimana kita melakukan dan seberapa besar passion kita dalam menjalankan proses itu. Hanyalah omong kosong jika kita bicara dakwah ini itu dengan targetan ini itu sampai detil tetapi implementasinya nihil. Maka proses yang optimal dan kesungguhan dalam berdakwah itulah kunci suksesnya dakwah dan kaderisasi umat ke depan.

Mengambil ibrah dari Rasulullah yang telah menghabiskan 23 tahun membina umat dan akhirnya menjadi peletak dasar daulah Islam maka itu seharusnya menjadikan kita untuk muhasabah dengan berbagai upaya dakwah yang seringkali tergesa-gesa. Ingin segera memetik hasil. Padahal, bahkan kejayaan Islam menjadi payung dunia itu baru terwujud selama beberapa abad kemudian setelah wafatnya Rasulullah. Tetapi mari kita lihat bagaimana Rasulullah totalitas menjalankan dakwah, dan kemudian dilanjutkan para sahabat yang mulia hingga para ulama. Rasulullah konsisten menjadi public figure yang pantas diteladani. Itulah contoh bagaimana seharusnya menjadi pemimpin. Para sahabat menjadi teladan dalam ketaatan, bagaimanapun sering kali pendapatnya berbeda, tetapi mereka percaya bahwa yang menjadi pemimpinnya adalah seorang utusan Allah.

Hal itu masih bertahan hingga masa pertengahan kekhalifahan Utsman sampai akhirnya badai fitnah berkecamuk gara-gara pengkhianat Ibnu Saba’, sang provokator ulung dari Yahudi. Dan inilah ujian bagi umat bagiaman mereka seharusnya taat kepada pemimpin dan menyikapi secara arif terhadap perbedaan yang terjadi serta mampu membedakan mana yang itu merupakan perbedaan dan mana yang itu hanyalah sebuah provokasi. Karena bagaimanapun, di masa fitnah itu rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin, bahkan kepada pemimpin yang sudah kita kenal keadilannya itu.

Maka sekali lagi, dakwah adalah asas perbaikan umat jika ingin masyarakat kita mengamalkan Quran dan Sunnah. Dan kesabaran itu adalah senjata utama untuk melakukannya. Karena tidak akan ada dakwah yang bertahan kecuali dengan kesabaran yang membuahkan keistiqomahan. Menjalani proses dan bertahap hingga suatu saat terwujud tatanan masyarakat yang Islami dengan pemimpin yang menegakkan syariat Islam.

Sabar dalam Berjihad

Ini berkaitan tentang hadits yang menyatakan bahwa janganlah kita mencari-cari musuh, tetapi jika suatu saat musuh datang maka tetaplah ditempat dan bersabarlah untuk menghadapinya. Di akhir hadits ini dikatakan bahwa Syurga itu di bawah kilatan pedang. Hemm, yang hobi pukul-pukulan ini dianggap sebagai ayat yang melegalisasi aksi brutal untuk menghancurkan.

Padahal, kata kunci tentang jihad adalah bahwa jihad itu bagian dari proses dakwah, bukan dakwah itu untuk menuju jihad. Makanya hendaknya kita arif dalam menyikapi berbagai kemaksiatan di negeri ini agar jangan sampai kita berlaku brutal dan akhirnya menurunkan izzah Islam di mata orang-orang kafir. Jangan sampai kita membenarkan berbagai tindakan kekerasan atau terorisme. Sebelum ada perintah dari pemerintah (dalam hal ini pimpinan negara) untuk berperang dan menegakkan syariat Islam dengan jihad maka kita tidak boleh bertindak gegabah. Mungkin kekuatan hasil bela diri kita atau berbagai kekuatan perang kita untuk melawan orang-orang kafir tidak digunakan semasa kita hidup, tapi alangkah lebih indah jika ternyata Indonesia bisa menjadi lebih baik tanpa adanya perang.

Jangan sampai kita mencari-cari musuh, atau menebarkan kekacauan agar memunculkan musuh. Itu bukan tindakan yang dicontohkan Rasulullah, karena sejak jihad diserukan oleh Rasullah itu terjadi karena orang-orang kafir lah yang membuat sebab. Dan kaum muslimin menuntut bela atas kerusakan yang mereka lakukan.

Tetapi adalah sunnatullah, bahwa peperangan itu pasti akan selalu terjadi antara kaum muslimin dengan kafirin. Itu adalah sebuah keniscayaan, di mana keduanya punya tujuan untuk menebarkan pengaruhnya. Yang iman ingin menebarkan keimanannya, yang kafir ingin menebarkan kekafirannya, maka pastilah diantara keduanya akan terjadi perang. Jadi jika suatu saat hal ini telah terjadi, maka berlakulah bagian akhir dari hadits tentang bersabar dalam jihad. Artinya ketika musuh datang, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berjihad. Bahkan jika kedua barisan telah berhadapan, maka pantang bagi kaum muslimin untuk mundur. Berperang sampai terbunuh sebagai syuhada atau berhasil membunuh hingga tercapai kejayaan Islam. Dan inilah implementasi kesabaran dalam berjihad.

Demikian ikhtisar dari kajian yang sempat terekam di kepala. Semoga menjadi inspirasi bagi kita di sepertiga akhir ramadhan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.