Ini hanyalah sebuah refleksi kecil setelah beberapa kesempatan yang lalu sering diminta berbagi dengan adik-adik yang menjadi aktivis kampus (atau tepatnya adalah aktivis dakwah kampus). Aktivis, begitulah gelar yang secara otomatis tersemat pada sosok-sosok yang hari-harinya sibuk tidak hanya kuliah di kampus tapi setelah itu masih harus rapat (kadang namanya jadi syura), diskusi, menggelar acara sarasehan, kajian, seminar dan macam-macam. Pokoknya, potret aktivis sibuk sekali di mata mahasiswa  yang hippies dan menjadi pengikut K3 (kantin, kampus, kos-kosan).

Namun, ada fenomena yang kutemukan di dunia aktivis yang sempat ku temui di forum-forum itu. Aktivis identik dengan generasi pemimpin yang terlahir. Mereka sering diskusi bahwa aktivis itu adalah generasi harapan, agent of change atau apa lah namanya. Yang jelas aktivis kampus itu adalah mata rantai kepemimpinan yang telah bersambung dari masa lalu hingga masa kini. Sehingga yang sekarang menjadi aktivis kampus itu biasanya adalah orang-orang yang ke depan akan memegang tampuk kepemimpinan masyarakat nanti.

Fenomena tersebut sederhana saja tapi menusuk perasaanku dalam-dalam. Ketika aku bertanya kepada para ikhwan dan akhwat yang sangat keren itu, apakah mereka sudah menghatamkan satu buku saja tentang Shirah Nabawiyah, missal karyanya Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury. Jawaban yang mengejutkan adalah sangat sedikit dari mereka yang sudah mengkhatamkan buku yang menjadi juara penulisan shirah nabawiyah yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam al-Islamiyah itu. Hebat, aktivis (di tempat yang saya berinteraksi dengan mereka) ternyata shirah nabawiyah saja ternyata belum khatam.

Fenomena itu menyiratkan beberapa pelajaran penting, di antaranya

Pertama, betulkah jiwa aktivis hari ini itu tumbuh atas sebuah ketersambungan sejarah yang murni dari dasar perjuangannya? Atau jangan-jangan jiwa yang terbentuk hari ini masih dalam taraf doktrinasi yang tumbuh karena interaksi. Jika interaksi berkurang maka ghirah hilang. Shirah nabawiyah adalah pangkal dan alasan dari setiap perjuangan mengapa umat Islam harus bangkit, belajar, tumbuh, berkembang, membangun peradaban dan memajukan dunia. Jika itu saja masih abai (dalam pandanganku sengaja tidak mengkhatamkan di usia-usia produktif sebagai aktivis adalah bentuk pengabaian terhadap sebuah pondasi keaktivisan) dalam membaca jejak yang paling terpuji itu, apa jadinya dengan tindakan aktivis hari ini. Silahkan dipikirkan sendiri.

Kedua, potret umat Islam hari ini yang masih lemah ghirah belajarnya. Membaca adalah salah satu ukuran penentu kecerdasan bangsa saat ini. Negara-negara skandinavia tingkat bacanya sangat tinggi maka tak heran jika mereka menduduki peringkat tinggi dalam dunia pendidikannya. Sedangkan negara-negara muslim, khususnya tanah air kita tercinta Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam masih sangat jauh tertinggal. Budaya literasi membaca saja di kalangan intelektualnya masih rendah, apalagi di kalangan masyarakat yang dicap tidak intelek, tentu makin parah lagi. Membaca saja malas, apalagi menulis.

Ketiga, sesungguhnya perlu upaya nyata dari aktivis kampus untuk mengubah cara belajarnya hari ini. Mari kita mulai dari pokok mengapa kita harus menjadi aktivis, bukan hanya pada perintah bahwa kita harus menjadi aktivis. Aktivis itu panggilan jiwa, maka mari sempurnakan panggilan itu dengan kelengkapan ilmu dan pemahamannya yang baik. Karena energi panggilan jiwa itu sangat dahsyat. Jika kita tidak mengerti mengapa kita bergerak, untuk apa dan demi apa dalam koridor perjuangan yang jelas ini, maka bukankah hari-hari kita akan menjadi bulan-bulanan orang lain. Di saat hari ini umat Islam sibuk saling mengklaim, menjatuhkan dan belajar untuk dewasa menjadi satu umat yang dijanjikan kemenangannya di akhir zaman nanti, maka mari sibukkan diri kita dengan aktivitas-aktivitas belajar dan berproses untuk mengerti hal-hal yang mendasar dari perjalanan kehidupan kita.

Menjadi aktivis kampus itu tidak untuk gagah-gagahan sama sekali. Bahkan dalam bahasa hematku, justru saat kita menjadi aktivis kampus itu kita menjadi mahasiswa yang PALING BIASA di antara mahasiswa lainnya. Karena kita menjalani perilaku ideal kita sebagai mahasiswa ketika yang lain menjadi mahasiswa luar biasa (entah karena apa luar biasanya). Menjadi mahasiswa biasa, hidup biasa, bersikap biasa, dan mencipta karya mahasiswa biasa.

Biasa berjuang, biasa berdiskusi, biasa membela, biasa menyodorkan gagasan solutif, biasa berperilaku cerdas menyikapi masalah yang ada, dan bersedia meminta maaf jika salah. Aktivis kampus, lebih lagi aktivis dakwah kampus belum khatam Shirah Nabawiyah? Lantas apa yang bisa membangun kerangka perjuangan ini jika permata itu saja tak dimiliki.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.