Dulu ketika pembekalan materi kader dakwah kampus (baca tasqif), salah satu moderator yang keren membuka dengan foto sebuah papan panjang berwarna hijau. Ya itu adalah hijab atau penghalang bagi para aktivis dakwah waktu syura agar tidak saling berpandangan. Di kampus yang katanya banyak orang menyebutnya dengan Universitas Negeri Syariah  ini budaya aktivis dalam syura adalah menjaga agar interaksi lawan jenis dalam berbagai aktivitas bersama tidak banyak bersinggungan secara langsung.

Kami pun tertawa dengan foto yang beliau tunjukkan tersebut. Kemudian beliau berkata, inilah saksi bisu aktivitas para aktivis dakwah kampus. Di hijab inilah terekam berbagai cerita lika-liku para aktivis dakwah dari zaman baheula hingga zaman ini. Bahkan terekam juga cinta lintas hijab (CLH) yang bersenandung dihati para ikhwan-akhwat yang tengah bergelora. Aku makin tertawa dengan bahasa beliau ini. CLH? Ha ha ha, ini pasti banyak membuat kami tersipu.

Hijab, kata ustadz Wikipedia artinya (bahasa Arab: ???? ?ij?b) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti penghalang. Pada beberapa negara berbahasa Arab serta negara-negara Barat, kata “hijab” lebih sering merujuk kepada kerudung yang digunakan oleh wanita muslim (lihat jilbab). Namun dalam keilmuan Islam, hijab lebih tepat merujuk kepada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama.

Dalam konteks ini, hijab yang dimaksud adalah penghalang yang membuat aktivis ikhwan dan akhwat tidak bisa saling pandang secara langsung dan aktivitasnya melalui pembicaraan saja ketika sedang syura (rapat) atau kegiatan yang lain yang posisinya saling berdampingan. Dengan hijab ini diharapkan, para ikhwan yang secara normal ingin sering melihat lawan jenisnya terhalang oleh warna hijau (atau warna lainnya saja). Begitu pula yang akhwat yang suka GR kalo ditoleh ikhwan menjadi tidak GJ karena tidak ada yang memperhatikan mereka. Masak sih?

Maaf empat paragraf pertama ini terkesan kacau dan tidak jelas. Tapi mungkin paragraf selanjutnya lebih kacau dan tidak jelas lagi. Maklum, masih butuh belajar untuk menulis yang baik dan berisi. Tapi setidaknya di sisa-sisa paragraf nanti aku ingin berbagi tentang fenomena hijab yang melingkupi aktivis dakwah kampus.

Dalam konteks pertama, hijab yang bermakna jilbab bagi wanita hari ini telah menjadi trend yang berkembang di tanah air. Khususnya di kampusku, meskipun kampus negeri sepertinya untuk para wanita muslim, mengenakan jilbab itu adalah hal yang niscaya setelah mereka melihat lingkungan mereka bak lautan para jilbaber. Yang dulunya masih mengizinkan para lelaki menikmati keindahan rambutnya, kini mereka menutupinya dengan penutup sesuai niatnya. Ada yang funky, ada yang memang syari, tapi setidaknya kami tidak bisa melihat lagi bentuk rambut definitifnya.

Karena telah menjadi trend, sampai-sampai model jilbab akhwat itu menjadi indikator keakhwatan seseorang. Style jilbab besar dengan rok panjang yang berlapis celana di dalamnya dan kaos kaki menjadi indikator bahwa sang akhwat (wanita muslim) telah memilih jalan menutup dirinya dengan cara yang syari sesuai dengan perintah Rasulullah kepada para wanita muslim.

Tapi apakah benar penampilan itu menjadi indikator yang sesungguhnya? Tunggu dulu. Meskipun standar ini adalah standar yang pasti dipakai sebagai gerbang terdepan para ikhwan (laki-laki muslim) menentukan pilihannya, tapi sebenarnya ini tidak dapat menjadi jaminan. Mengapa? Karena arus trend hari ini cenderung mengaburkan dan membingungkan para ikhwan untuk mencari mana yang “akhwat“ sesungguhnya. Maka disini pertolongan Allah benar-benar diperlukan agar proses pencarian itu berujung pada pilihan yang tepat.

Yang jelas, para wanita muslim yang telah memilih style itu, harus kita husnudzani bahwa dia telah bertekad kuat untuk mengubah gaya hidup pribadinya dalam sisi yang lain juga. Bukan hanya agar tampak menarik bagi para ikhwan. Biasalah, logika pasar itu berlaku di sini. Para ikhwan yang telah terwarnai dalam lingkungan dakwah kampus ya cenderung untuk memilih akhwat yang stylenya seperti dirinya dari pada yang tidak memakai hijab.

Masalah pembahasan jilbab untuk para wanita muslim sampai di sini saja ya. Intinya penampilan luar itu semoga bisa menjadi motivasi bagi perubahan penampilan dalamnya. Begitu pun bagi yang ikhwan, yang dulu masih GJ-GJ, setelah terlibat dalam dakwah kampus akhirnya menjadi Great Jundi (para pasukan yang kokoh). Mari kita lanjutkan dengan hijab yang kedua.

bersambung ….

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.