sebagai bahan diskusi di acara Training Pengurus BKI FT UNS (Kepatihan, 20 April 2013)
Ceritanya beberapa hari lalu aku diminta oleh salah satu adik SIM yang juga menjadi BOS-nya Rohis D3 Teknik untuk menjadi pembicara di training yang akan diselenggarakan besok. Temanya berat banget, tentang kepemimpinan dalam Islam.
Untuk beberapa hal yang sifatnya teoritis, aku nanti akan lebih memilih mereka untuk membaca buku-buku yang sudah begitu tersebar seperti al-Ahkamu as-Sulthaniyah karya Imam Mawardi dan sejenisnya. Tentang pergerakan, misalnya Majmu’atur Rasail karya Hasan al-Banna dan sebagainya. Jadi aku lebih memilih untuk berbagai saja pada hal-hal yang aku juga bisa dan setidaknya telah belajar untuk menerapkan ilmunya. Maklum masih ababil juga kok.
Apa itu pemimpin? Apa itu kepemimpinan? Teoritis kan, singkat ceritanya setiap kita itu pemimpin. So what? Ya berarti kita kenali siapa kita dan kita rencanakan apa yang perlu kita lakukan sebagai seorang pemimpin. Jangan sampai kita tidak tahu untuk apa, punya apa, dan harus bagaimana kita sebagai manusia yang juga berarti seorang pemimpin.
Tentang kepemimpinan dan bagaimana tutorial/ teladan kepemimpinan itu, cukuplah baca sebanyak-banyaknya shirah Nabawiyah alias kisah hidup Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam. Dilanjutkan dengan kisah para Rasul yang lain dan kisah para sahabat dan penerusnya hingga hari ini. Kata kuncinya di sini adalah SEJARAH ITU BUKAN ROMANTIKA. Sejarah itu adalah tempat untuk belajar berbagai sudut pandang dan konteks yang tepat sehingga kita bisa menghidupkan kembali spirit kepemimpinan nabawi di era sekarang. Zaman boleh beda, tapi semangat dan jiwa tetap harus sama dengan zaman asalnya.
Jadi adalah hal yang lucu jika kepemimpinan yang pernah dibuktikan oleh umat Islam sebagai kepemimpinan efektif dalam memayungi dunia, memajukan peradaban dan memberikan warisan berbagai sikap hidup hari ini dipandang tidak laku untuk tatanan yang modern seperti sekarang. Jika fakta hari ini kemudian negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbelakang dan justru terlihat tidak mencerminkan kehidupan Islami itu bukan pembenaran bahwa sistem kepemimpinan Islam itu tidak laku lagi. Mari kita dewasa, jangan menilai sebuah sistem dari representasi orang-orangnya, tapi nilailah dari substansi atau nilai yang diajarkan pada awalnya. Begitu pun sebaliknya, jangan menilai seseorang dari latar belakang sistem yang menaunginya. Yang membuat payah adalah orang Islam sendiri pesimis bahwa kepemimpinan Islam itu akan mampu menyejahterakan kaum muslimin dan memberikan keadilan bagi masyarakat non-muslim.
Potret buruk umat Islam hari ini seolah-olah menghapus sejarah bagaimana Penduduk Kristen Yerusalem lebih mengelu-elukan Shalahuddin al-Ayyubi dan memintanya segera membebaskan Yerusalem dari cengkeraman bangsa Perancis yang berkuasa. Begitu pula di beberapa tempat lain. Ini adalah sejarah, dan para pujangga waktu itu, terutama mereka-mereka yang non-muslim yang telah menuliskan fakta itu berarti mengakui bahwa kepemimpinan Islam yang sesuai dengan manhaj nabawiyah itu memberikan keuntungan yang besar untuk peradaban dunia ini.
Jadi saya ulangi, umat Islam yang hari ini masih miskin pengetahuan tentang sejarah nabinya dan kiprah umat Islam dalam membangun peradaban dunia sebaiknya kembali membuka dan mengumpulkan informasi yang super penting ini sambil tetap konsisten belajar berbagai ilmu syar’i yang diperlukan masing-masing pribadi agar mampu beribadah dengan baik. Ayo kembali ke sejarah kita. Kita pernah punya sejarah yang agung. Jangan pernah lupa dan jangan sengaja melupakannya.