Saat malam mingguan di Sekolah Alam Bengawan Solo Night Camp, Aku, Heriyanto, dan Mas Jefri menghabiskan tengah malam dengan berkeliling untuk menancapkan bendera yang esoknya harus ditemukan para prajurit kecil SABS. Apa yang kami lihat? Pemandangan pemuda-pemuda desa yang menghabiskan malam mingguan di tongkrongan, entah sambil ngapain yang jelas malam minggu di desa mungkin sudah tidak ada bedanya dengan yang dikota, sama-sama buang-buang waktu.

Dini harinya, lagi-lagi Heri melontarkan sebuah pertanyaan yang menarik. Mari dengarkan suara adzan subuh nanti, adakah suara anak-anak muda yang adzan di sana. Dan benar saja, kami tak menjumpai satu pun suara anak muda yang adzan di puluhan adzan masjid yang terdengar pagi itu. Ini masalah besar kawan? Di saat dahulu para Sultan meninjau kesiapan perang kaum muslimin dengan survey jamaah shalat subuhnya, kita masih terlalu sering berkoar-koar doang dan berdiskusi, sementara (maaf) jangan-jangan kita juga telat subuhan. Jika bapak-bapak/ibu-ibu yang shalat subuh tadi game over, masihkah masjid-masjid itu akan dipakai? Jawabannya tergantung tindakan kita selanjutnya.

Ini realita, bukan nostalgia yang terlalu lama kita diskusikan hingga taraf membosankan dan menjemukan. Desa adalah tempat para kiyai dan santri dahulu menggempur pertahanan para penjajah. Semangat juang itu terus berkobar meski kota-kota nusantara dikuasai penjajah. Kini, kota jangan tanyakan lagi kondisinya, beruntung para asatidz masih berjuang untuk membimbing. Tapi desa, kian terlupakan. Dan mungkin, jika ada yang bercita-cita politik untuk jadi pemimpin perubahan, menurutku menjadi lurah itu lebih realistis ketimbang kebanyakan retorika kebangsaan. Jadilah lurah, mandirikan desa, dan shalihkan kembali kehidupan desa yang telah tercemar pengaruh kota. Semampu dan sebisa kita.

Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.