Kemarin, tiba-tiba saja aku diajak untuk mendaki gunung Lawu. Sebenarnya awalnya agak sungkan karena sudah lama tidak berolahraga fisik dan ditambah baru saja sembuh dari sakit saat lebaran kemarin. Selain itu, aku belum pernah punya pengalaman naik gunung sekalipun. Dulu waktu SMA tidak pernah berani setiap kali teman-teman Pawana mengajakku. Ketika kuliah, sering diajak pas tidak bisa, giliran pas luang tidak ada teman. Akhirnya karena rindu pengalaman baru, ajakan remaja masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq pun aku sanggupi.

Kata temanku, mendaki Lawu di musim kemarau sama saja berperang melawan hawa dingin. Dinginnya kemarau di puncak gunung yang menjadi batas antara provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur itu seperti musim dingin di Eropa. Tapi sudahlah, apa salahnya kucoba. Dengan persiapan yang seadanya, tanpa konsultasi dengan teman pecinta alam, kami yang baru pemula semua, kecuali mas Pur, jamaah aktif yang usianya 35 tahun dan sudah berhenti mendaki sejak tahun 2006 lalu pun berangkat. Kebetulan aku dapat pinjaman sleeping bag dari Pak Yudi ketika ikut kerja bakti di Sekolah Alam Bengawan Solo dan sepatu gunung dari mas Bima. Kami siap berangkat berdelapan dengan motor hingga ke gerbang pendakian.

Aku tidak tahu mana yang lebih enak antara jalur pendakian di Cemoro Kandang atau Cemoro Sewu. Tapi mas Pur memilih untuk mendaki lewat Cemoro Sewu. Kami selaku pemula yang sama sekali belum pernah naik gunung mengikuti saja. Awalnya kami optimis dapat menaklukkan puncak Lawu karena sering dengar para pendaki yang bilang, jalur pendakian Lawu itu pendek. Dan ketika kami naik kami mulai merasakan betapa jauhnya jalur itu untuk ukuran kami yang jarang berolah raga plus belum punya pengalaman. Semakin ke atas semakin kami terengah-engah mengingat kemiringan jalan yang cukup tajam dan jarak undak-undakan yang lebar sehingga membuat langkah kaki kami cepat capek.

Kata mas Pur, rute pendakian Cemoro Sewu sebenarnya rute yang pendek dibandingkan Cemoro Kandang, hanya saja sedikit lebih terjal dan menantang. Tapi apa pun itu, rute pendakian Gunung Lawu adalah rute yang sangat nyaman karena tidak memakai jalur setapak lagi, jalannya sudah terbentuk dengan jelas sehingga kalau pun sendirian dijamin tidak akan tersesat sampai puncak sekalipun pada malam hari. Meski demikian, setelah berhasil melewati Pos 2, kami mulai kecapekan, selain juga kedinginan. Sedikit-sedikit berhenti karena jalurnya yang semakin menanjak.

Akhirnya kami semua menyerah ketika baru sampai di Pos 3, padahal puncak jauh setelah pos 5. Kami baru menempuh separuh perjalanan dengan ketinggian mungkin hampir 2000 meter DPL. Ketika itu waktu baru menunjukkan pukul 9 malam dan bulan tampak terang sehingga perjalanan kami tidak terlalu membutuhkan lampu senter. Tapi apa daya, sebagian besar dari kami, termasuk saya dan mas Pur sudah kecapekan dan kedinginan. Benar saja, rasanya seperti kembali ke musim dingin di Eropa ketika bulan Desember kemarin, bedanya cuma tidak melihat salju.

Kami memutuskan untuk berkemah dan beristirahat. Jika ada yang masih ingin naik akan ditunggu di pos 3. Saking dinginnya, disamping mungkin kondisiku yang tidak begitu fit, aku tetap kedinginan meskipun seluruh badanku sudah kumasukkan di dalam sleeping bag. Sambil memejamkan mata, sesekali kami mendengar rombongan berjalan ada yang naik, ada juga yang turun di waktu-waktu tengah malam itu. Tapi kami tidak peduli, kami memilih untuk segera menghangatkan badan dalam tenda.

Aku terbangun sejak tengah malam dan tidak bisa tidur lagi. Hawa dingin yang tidak tertahankan membuatku mengigau. Aku melihat bulan yang terus menuju ke barat dan segera tenggelam. Oh, subuh akan segera tiba dan segera pagi. Segera pulang. Akhirnya kami semua shalat subuh di tenda sambil duduk karena takut kedinginan saat berdiri, apalagi keluar tenda. Ketika matahari mulai terbit kami segera berkemas dan kembali turun. Perjalanan pulang kali ini tidak begitu menyiksa seperti saat berangkatnya, karena kami cuma perlu menahan pegal kaki menuruni undak-undakan tinggi tanpa harus tersengal-sengal.

Perjalanan kali ini mengajarkan kesabaran kepada kami. Meskipun jaraknya sesungguhnya relatif dekat untuk ukuran para pendaki, nyatanya kami membutuhkan waktu 4 jam untuk melakukan perjalanan dari pos pemberangkatan sampai ke pos 3, begitu pun saat pulang. Ketika orang mendaki, maka sesungguhnya dia sedang belajar untuk pasrah atas kehidupannya. Evaluasi untuk pendakian berikutnya, bawa bekal air gula jawa dengan botol kecil, sehingga lebih ringan dari pada air putih dengan botol besar. Asupan kebutuhan energi akan lebih terpenuhi. Pinjam atau beli perlengkapan mendaki yang sesuai kepada teman biar tidak asal-asalan. Bawa bekal yang cukup dan air panas dalam termos kecil untuk menghangatkan badan saat benar-benar kedinginan. Dan ke depan, sepertinya rute Cemoro Kandang perlu dicoba sebelum kembali menempuh rute Cemoro Sewu lagi, katanya lebih landai meskipun jaraknya lebih jauh.

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.