Ing ngarso sung tuladha
Ing madya mangun karsa
Tut wuri handayani
Rangkaian kalimat di atas mengingatkanku pada seorang guru bahasa Jawaku yang telah meninggal 2 tahun yang lalu, alm. Bapak Darmadi. Beliau memintaku menulis tiga kalimat itu dalam tulisan jawa dengan corak tulisan tangan pujangga keraton Surakarta, dalam Serat Wedhatama. Namun aku tidak mau cerita lebih jauh tentang sosok guru yang luar biasa itu di sini. Biarlah kenangan manis tentang jasa-jasa beliau harum di hati kami yang pernah merasakan 2 tahun di bawah bimbingannya.
Hardiknas tahun ini sepertinya lebih banyak mengalihkan kenangan banyak orang di tanah air akan jasa guru-guru yang pernah mendidik (atau mungkin hari ini banyak orang yang merasa tidak dididik oleh para gurunya). Semua sibuk mengumpat kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memang kita sama-sama tahu. Bukan karena menterinya atau personal-personalnya yang tidak becus, tapi karena memang kinerja tim dan manajemen yang buruk. Sebenarnya rata-rata lembaga pemerintah memang begitu, hanya saja kebetulan kemdikbud ini yang kena semprot rakyat lantaran UN seperti kayak ga niat saja.
Entah mengapa, aku geram dengan realita pendidikan di negeri kita. Semua sibuk untuk berbicara tentang buruknya kualitas pendidikan kita, tapi sedikit yang mau memberi solusi konkrit dari pada mengkritik. Lebih memuakkan lagi ada para anggota dewan yang sibuk berkicau tentang pelaksanaan UN yang kisruh. Sudahlah, aku sebenarnya lebih tertarik untuk melihat inisiatif dan kreativitas para anggota dewan dalam menyelesaikan masalah rakyatnya, tidak hanya melalui sidang yang berbusa-busa tapi juga dengan probono yang sanggup mereka wujudkan.
Ketika para anggota dewan bersama parpolnya mau berpayah-payah untuk hal ini, maka biaya pencitraan partai politik lebih bermanfaat dari sekedar tradisi 5 tahunan buang sampah melalui baliho dan bendera yang berkibar mengotori jalanan dan berbagai sarana kampanye yang tidak berpihak pada kebersihan lingkungan. Berbuat baik setiap saat tentu akan menjadi persepsi positif dalam menolong rakyat dari pada berbuat baik menjelang pemilu dan pilkada. Maka, ketika di hardiknas ini hanya berisi rilis media tentang upacara, perayaan, apalagi komentar para anggota dewan ketika di tempat lain para guru berdemo menuntut kesejahteraan, rasanya hardiknas ini hanya lagu lama pendidikan kita. Alangkah buruknya pelecehan kita kepada Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Hardiknas hari ini mesti menjadi momentum untuk bertaubat. Barangkali kita terlalu banyak berbicara tapi kurang berbuat untuk anak-anak Indonesia. Jika hari ini banyak LAZ yang sudah terpercaya dengan program-programnya khususnya pendidikan, mari kita sisihkan untuk membantu mereka (ingat kantong mahasiswa). Jangan sampai hardiknas tahun ini hanya menjadi seremonial saja. Setidaknya mari kita tunjukkan langkah nyata kita untuk pendidikan Indonesia.