Bagaimana kondisi masyarakat di daerah kita? Suka pengajian? Suka datang ke masjid? Kalo pengajiannya diisi dengan dai lucu, maka masyarakat suka pengajian, begitu kan. Kalo pengajiannya banyak makanan dan gratis, maka masyarakat banyak yang datang ke masjid. Tapi, apakah itu indikator yang baik untuk sebuah kualitas umat Islam yang diperlukan untuk kebangkitannya kembali.

Kenaifan yang Sangat

Adalah hal yang aneh dan naïf terjadi akhir-akhir ini ketika masyarakat menjadi manusia musiman yang menghidupkan masjidnya. Ramai jika ramadhan dan sepi kembali saat dia telah pergi. Dalam hal pembinaan keumatan juga tidak kalah seru naifnya. Semakin sedikit sekali sekarang takmir masjid yang berpikir bagaimana umat kembali ke masjid, tetapi sibuk mengajukan proposal untuk memegahkan bangunan masjidnya. Tidak kalah naïf ketika para kiyai, ulama dan dai juga masih ada yang personal oriented, yaitu lebih dominan dalam mengumpulkan pengikut dari pada menyampaikan asas-asas agama ini dengan benar. Belum lagi tokoh-tokoh masyarakat yang terjebak dalam arus politik sehingga mereka kehilangan jiwa negarawannya. Umat Islam semakin terjebak dalam arus individualism yang diteguhkan dengan kebodohan akan ilmu syari hingga disempurnakan dengan rasa keengganan yang sangat untuk menuntut ilmu.

Sebagian umat Islam yang dianggap cendikia, terlalu mendewakan akalnya sehingga membuat penelaahan yang aneh-aneh terhadap syariat ini yang tidak jarang membawa umat pada kesesatan. Di sisi lain, ada sekelompok umat yang memegang teguh prinsip tetapi tidak berhasil berkomunikasi menurut bahasa masyarakat agar kebenaran itu tersampaikan sebagaimana mestinya. Stigma masyarakat yang terlanjur buruk menjadikan masyarakat sudah malas mendengar meskipun sebenarnya itu benar dan sesuai dengan Quran dan Sunnah.

Naif sekali ketika dalam pengajian akbar, masyarakat datang berduyun-duyun mendengar pengajian yang dainya lucu dan pandai melucu. Apa lagi kalau titelnya adalah dai, seniman, dalang dll, pasti menarik untuk dihadiri dan ikut tertawa. Dan sayangnya lagi sang Dai juga dengan terang-terangan mengatakan jika diundang mendalang lebih senang karena bayarannya jelas, kalau jadi mubaligh ga jelas transaksinya. Innaalillah. Tapi kenapa justru ini dianggap lucu oleh masyarakat, ketawanya sampai terpingkal-pingkal lagi. Padahal ini adalah sebuah musibah.

Apakah masyarakat salah? Atau siapa yang salah? Hemm, rasanya tidak perlu saling menyalahkan. Tapi inilah realita masyarakat kita yang terlalu mabuk dengan urusan dunia. Hingga ketika sang Dai menyampaikan hal-hal asasi yang memang itu benar seperti kewajiban shalat dan berbagai pokok-pokok ajaran Islam yang membekas hanyalah lucunya saja. Selanjutnya masjid tetap sepi. Jangankan shalat subuh, dzuhur dan ashar, shalat maghrib hingga isya saja jamaahnya bisa dihitung dengan jari. Naïf sekali.

Tekad

Lalu harus bagaimana? Tidak ada kata menyerah dalam menegakkan dakwah. Konsekuensinya adalah akan mendapat berbagai reaksi beragam dari masyarakat karena Islam yang benar akan merubah semua kebiasaan itu. Yang terpenting adalah kesungguhan hati untuk tetap menjaga Islam ini dalam diri sendiri dan kemudian istiqamah dalam nejadi teladan di masyarakat dalam segala hal yang baik dan sesuai syariat. Biarlah dicemooh karena mungkin kita aneh dan berbeda dari yang lain.

Disaat gadis-gadis, khususnya yang pulang dari kota menampilkan apa yang mereka dapat dari kota berupa modernisasi yang tidak jelas, muslimah-muslimah yang baik tetap kokoh dengan jilbabnya yang syari meskipun mungkin akan dikatakan kampungan. Ketika remaja-remaja putra tampil keren dengan mode rambut dan pakaian yang serba korea, ikhwan-ikhwan yang baik tetaplah menjadi icon orang sederhana dengan pakian yang serba longgar dan menutup aurat.

Itulah potret lebaran kini, dan masih ada masalah yang merisaukanku. Aku pun belum sanggup sepenuhnya menjalankan perintah hadits bahwa kepala yang ditusuk jarum besi panas lebih baik dari pada menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Innaalillah, ya Rabb kuatkanlah diri ini untuk mengikuti syariat-Mu yang lebih indah dan mulia. Dan inilah salah satu hal mengapa aku lebih banyak sedihnya saat lebaran dari pada rasa senangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.