Desaku yang kucinta

Pujaan hatiku

Tempat ayah dan bunda

Dan handai tolanku

Tak dapat kulupakan

Tak dapat bercerai

Selalu kurindukan desaku yang permai

Ini adalah sebuah tulisan ga jelas gara-gara aku sering ngajakin teman-temanku ke sebuah kumpulan batu yang sebenarnya mungkin “biasa saja” tapi ternyata membuatku merasa luar biasa.

Cerita awalnya bermula saat aku mengajak Helmi, teman dekatku terkeren, dan semoga senantiasa didekatkan dalam kebaikan. Teman sejak SMP hingga kini, SMA sama, ma’hadnya sama, sekarang kos-kosannya juga masih sama, bahkan akhirnya bisnisnya sama. Yang beda Cuma cari ……nya. Ha ha ha, ga perlu tau deh.

Langsung ke inti masalah.

Watu Gendong adalah sebuah tempat yang dipenuhi batu-batu besar yang tidak biasa (karena dilihat dari teksturnya itu bukan batuan asli daerahku). Kalo dilogika (karena aku memang bukan orang geologi, ditambah belum melakukan studi secara ilmiah), batu-batu tersebut  kemungkinan berasal dari letusan gunung berapi pada masa purba, nah batu-batu itu meluncur ke daerah itu. Bener nggak ya? Ah aku perlu nanya mas Ahmad Cahyadi (my most inspiration People).

Tapi kalo kata orang pribumi katanya batu-batu itu digendong oleh kera-kera putih yang menjadi penunggu bukit Wonosadi. Sebentar, aku tertawa dulu ya. Ha ha ha. Karena kera mana yang bisa ngangkatin batu segede gitu. Tapi tak apalah, namanya aja cerita rakyat, ga usah diperdebatkan. Toh kalo nanti anak2 yang sekarang pada sekolah, cerita yang sebenarnya mungkin akan terkuak. Ditambah keyakinan klenik nan kuat mengakar di sana membuat orang-orang terkadang masih takut untuk mendaki batu yang katanya banyak penunggunya itu.

Bagaimana denganku? Sejak aku jadi “anak kota” (eh ga ding, tetap anak desa, dan selalu mencintai desa) maka kepercayaan yang kayak gituan dah nggak lagi. Yah, kan udah ngaji sama ustadz-ustadz yang keren. Masak ya masih takut sama pocong dan anak-anaknya. Ga jelas ntar.

Ok, kembali ke topic masalah. Nah, awalnya aku main dengan Helmi ke sana adalah untuk mencari foto-foto yang bagus tentang watu Gendong buat diikutsertakan foto pariwisata. Intinya kami foto-foto (eh salah, kami memfoto Watu Gendong itu). Akhirnya aku mendapatkan inspirasi baru. Yah, ternyata Beji-ku itu sangat indah. Dan untuk selanjutnya aku akan menyebut Watu Gendong sebagai WAGE.

Selanjutnya adalah saat aku mengajak dua temanku yang “gila” dan “ga jelas” dari Solo weekend dirumahku. Yang satu aku sebut gila karena hobi nge-game, yang satu aku sebut ga jelas karena ya susah menjelaskan dia itu seperti apa (cewek, tapi mengerikan kayak cowok, dan banyak deh keanehan-keanehan yang terhimpun di sana). Akhirnya aku pun mengajak mereka jalan-jalan pagi ke WAGE. Temenku tadi si Gila Krisna, Si GJ Nisaa, and Adikku Citra (ha ha ha, dua nama depan ga boleh marah kalo baca tulisan ini) akhirnya jalan jauhhhhhh ke TKP. Sesampai di sana aku melihat aksi GJ Nisaa lagi, memanjat batu yang agak tinggi (buset, ni cewek aneh beut). Tapi ga papa, sudah terbiasa dengan aksi aneh-anehnya kok. Saat itu, langit pagi bener-bener cerah, kami bisa berbagi cerita dan bercanda ria. Tentu saja aku dan Krisna pasti akan selalu mengolok-olok Nisaa, dan adikku Citra akan menggeleng-geleng kepala melihat tingkah 3 orang tua yang ga karuan itu.

Selanjutnya, apa lagi ya. Oh iya, seminggu kemarin aku mengajak serombongan ikhwan-ikhwan yang ga kalah GJ. Intinya mereka adalah …….ku. Nah, lagi-lagi ke WAGE. Tapi kali ini ada nuansa tersendiri di mana, dari serombongan temanku tadi ada satu yang sangat aneh dan GJ. Dia adalah manusia yang sangat independent. Ketika yang lain sedang ketawa menikmati suatu hal, dia Cuma bengong dengan sebuah persepsi lain yang aneh. Ketika yang lain lagi asyik foto-foto, dia malah asyik tiduran di atas batu. Ga jelas dah pokoknya. Tapi tetap belum bisa ngalahin GJ-nya Nisaa.

Dan akhirnya sehari kemarin, lagi-lagi ngajakin Citra dan serombongan adik2 TPA dan remas untuk jalan-jalan lagi ke sana. Aku nggombal ke mereka malamnya, “Dek, besok bangun subuh ya, kita jalan-jalan kaya Ramadhan itu lho”. Akhirnya paginya terkumpul sekian anak-anak (masih dalam hitungan jari) yang bergabung dengan mantan Direktur TPA ga jelas gini. Intinya aku bisa melihat adik-adikku yang memang asli pribumi ini memang lebih edan dari pada yang sebelumnya. Bahkan batu tertinggi ke-2 dari kompleks WAGE ini berhasil dinaiki oleh salah satu dari mereka. Gila, aku aja lihat tingginya aja dah pusing. Dan kali ini, sepertinya virusnya Nisaa juga udah menular ke adikku Citra. Haa, dia ikut manjat batu yang lumayan tinggi. Tapi mungkin ga berlebihan kok, batu yang dipanjat ini relative lebih mudah dari yang dinaiki Nisaa waktu itu. Masih aman, tetep akhwat kok. Ha ha ha (Sory Nisaa, ga bermaksud apa-apa)


Dan kesimpulanku sementara, aku melihat WAGE ini sebenarnya dapat dikembangkan menjadi sebuah taman wisata yang bagus untuk menyegarkan pikiran dan melihat hijaunya alam. Menelisik kearifan local dan mengagumi keagungan sang Pencipta. Tapi bagaiamanapun, mungkin tempat ini bisa dijadikan tempat untuk kemaksiatan dan kesyirikan. Bagaimana selanjutnya.? Ikuti kisah anak pribumi ini di edisi mendatang.


Dadah ……………. Beji, kau akan selalu indah dan kurindukan

5 Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses